TPI: Televisi “Paling Indonesia”

TPI: Televisi “Paling Indonesia”

Mungkin tak pernah terbayangkan oleh Zworykin bahwa kotak hitam yang diciptakannya akan menjadi media terdominan di kehidupan manusia nantinya. Mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh AGB Nielsen, Yogyakarta merupakan kota ke-3 dengan populasi TV rumah tangga terbesar di antara 10 kota besar lainnya di Indonesia yang juga diteliti di tahun 2007, yaitu 778.000. Sedangkan ranking pertama untuk populasi TV rumah tangga terbesar tentu saja dipegang oleh greater Jakarta di angka 7.598.000. Untuk populasi TV individu Yogyakarta di tahun 2007 sendiri berada di angka 2.215.000 individu. Dari angka-angka tersebut kita dapat mengetahui bahwa TV memang telah menjadi media yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia .

Angka-angka tersebut tentunya tidak bisa dianggap sebagai fakta yang biasa-biasa saja. Masyarakat kita saat ini sudah tidak bisa dibiarkan lagi terus-terusan terlena oleh “sampah” yang dibungkus cantik oleh para pelaku industri TV tersebut. Tester (1994:40) menyebutnya sebagai komersialisasi “sampah” yang berbahaya karena berdampak serius pada kualitas hidup manusia . Sudah banyak masalah-masalah yang muncul karena keberadaan TV. Media TV selalu siap untuk terus meneror masyarakat setiap waktu, bukan lagi dalam bentuk teror “pembangunanisme” laiknya jaman Soeharto berkuasa, namun teror atas sikap mental dan perilaku bangsa dan negara Indonesia .

Sebagian masyarakat yang peduli setuju bahwa sebenarnya program-program di TV swasta Indonesia sudah tidak bisa lagi dikatakan berkualitas, kecuali untuk Metro TV mungkin bisa masuk ke pengecualian. TV swasta sebagai stasiun TV yang paling banyak ditonton oleh masyarakat Indonesia dianggap gagal menjadi media yang bermanfaat bagi masyarakat. Keseragaman jenis program, isi program yang tidak mendidik, sarat dengan unsur seksualitas, kekerasan, dan maraknya tren program reality show yang dari hari ke hari semakin melewati batas privasi seseorang hanyalah beberapa masalah dari tayangan TV Indonesia saat ini.

Namun kenapa kemudian masyarakat tetap saja begitu manut dengan TV? Ada yang mengatakan bahwa kesenangan orang menonton TV dikarenakan ia seperti sedang melihat kehidupannya dalam TV tersebut. Burhan Bungin (2001:2) mengatakan bahwa media memiliki kekuatan untuk memindahkan realitas sosial ke dalam pesan media dengan atau setelah diubah citranya, kemudian memindahkannya melalui replika citra ke dalam realitas sosial yang baru di masyarakat.

Kali ini penulis ingin memfokuskan tulisannya pada jenis program TPI yang dirasa tidak merepresentasikan visi, misi serta slogan dari TPI itu sendiri. Dengan slogannya yang berbunyi “Makin Indonesia Makin Asyik Aja” itu penulis rasa perlu untuk diteliti lebih jauh lagi bagaimana cara TPI menerapkannya dalam pemilihan program-programnya, apakah sudah selaras atau belum. Tak hanya itu, TPI juga menyatakan dirinya sebagai Televisi Pendidikan Indonesia, tapi apakah konten mereka sudah benar-benar mendidik para penontonnya? Hal ini penulis rasa menarik untuk dibahas mengingat TPI mampu menduduki posisi ke-5 sebagai stasiun TV di Indonesia yang paling banyak ditonton dengan cukup konsisten dari tahun ke tahun, bahkan di tahun 2005 berdasarkan penelitian AC Nielsen ia sempat menduduki posisi nomor 1 dengan audience share 16,6% di bulan April 2005.

A. Televisi Pendidikan Indonesia

Televisi Pendidikan Indonesia yang lebih akrab disapa TPI ini adalah TV swasta ke-5 yang mengudara di Indonesia setelah adanya persetujuan pendirian stasiun TV di Indonesia tahun 1961 oleh Presiden Soekarno. TPI mulai mengudara tepatnya pada tanggal 23 Januari 1991 berdasarkan izin dari Menteri Penerangan No.127/E/RTF/K/VIII/1990 dengan pola mengudaranya 4 jam setiap hari. Jangkauan siaran TPI saat itu adalah 158 juta pemirsa. Dengan animo yang cukup baik dari pemirsa maka TPI kemudian mengubah pola tayangnya menjadi 6,5 jam mulai 8 Juni 1991 dan hingga saat ini TPI mengudara selama 23 jam setiap harinya.

Visi dari TPI adalah “paling Indonesia pilihan pemirsa” sedangkan misinya adalah “TPI menyajikan tayangan bercitarasa Indonesia yang inspiratif untuk memajukan masyarakat” dan slogan TPI adalah “Makin Indonesia Makin Asyik Aja”. TPI telah dianggap sebagai pelopor tayangan-tayangan Dangdut yang dikenal sebagai musik asli Indonesia. TPI juga terus berusaha untuk mengedepankan tayangan-tayangan sopan yang bisa dinikmati oleh seluruh keluarga (http://tpi.tv).

Sejak awal kelahirannya hingga saat ini TPI juga tak jarang mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak. Selama mengudara 17 tahun lamanya TPI telah berhasil mengumpulkan 19 award, diantaranya didapatkan dari Panasonic Award, Majelis Ulama Indonesia, Departemen Budaya dan Pariwisata Indonesia dan Museum Rekor Indonesia (MURI). Posisinya sebagai pelopor tayangan Dangdut di Indonesia diakui secara langsung oleh Kelompok Kerja Wartawan Peliput Pertelevisian yang memberikan penghargaan sebagai Pelopor Pengembangan dan Pelestari Musik Dangdut di tahun 2000. Baru-baru ini di tahun 2008 TPI juga mendapatkan penghargaan dari Perhimpunan Jurnalis Indonesia untuk program Rakyat Bicara yang dianggap mampu memberikan pencerahan terhadap publik tentang demokrasi dan pemberantasan korupsi.

B. Program-program di Televisi Pendidikan Indonesia

Berikut penulis akan menjelaskan jenis program apa saja yang dimiliki oleh TPI. Dengan jam siaran sepanjang 23 jam sehari tentu saja TPI memiliki banyak program acara dengan beberapa kategori genre yang beragam. Mulai dari entertainment, news, hingga sport.

a. News

Untuk tayangan berformat berita TPI memiliki 10 macam program, yaitu Lintas Pagi, Lintas Siang, Lintas 5, Lintas Malam, yang kesemuanya menyampaikan berita teraktual yang terjadi di masyarakat sehari-hari, baik di skala nasional maupun internasional. Ada juga Lintas Perisitiwa yang sifatnya hanya sekilas saja, menyampaikan informasi terkini di setiap jamnya. Ternyata ada pula keunikan dari jenis program news di TPI yaitu adanya program berita khusus Jawa Timur, Lintas Jatim yang memang hanya disiarkan oleh TPI Surabaya dan disiarkan untuk warga kota Surabaya dan sebagian kota di Jawa Timur.

Selain itu TPI juga menyiarkan Sidik sebagai program yang menyampaikan kasus kriminal terkini, diputar setiap harinya pada pukul 11.00-11.30 WIB. Setelah Sidik, TPI juga menayangkan Sidik Kasus sebagai program yang mengungkap keberhasilan aparat kepolisian di dalam menyelesaikan kasus kriminal yang menyita perhatian masyarakat. Acara ini ditayangkan saat weekend pukul 11.30 WIB. Agaknya TPI begitu suka menyajikan berita kriminal, tak cukup dengan 2 program berita tersebut, TPI juga memiliki program berjudul Kribo yang menyajikan berita kriminal plus ilustrasi yang sama dengan kejadian sebenarnya. Dalam tayangan ini juga dimasukkan unsur humor pada cerita-ceritanyanya yang dikemas lucu, unik dan tak terduga. Kribo sendiri merupakan kepanjangan dari Kriminal Heboh yang dipandu oleh Luhut Kribo dengan dandanan ala 70s.

Tak hanya berkisar pada berita-berita yang faktual dan penting saja, TPI juga mengangkat berita seputar masyarakat dengan alam dan budayanya. Program yang bertajuk Jendela ini rasanya serupa dengan program Periskop di Metro TV.

b. Olah Raga

Untuk acara olah raga hanya 2 program yang berhasil penulis temukan dari website resmi TPI, yaitu AFF SUZUKI CUP 2008 dan Grand Royal Myanmar Challenge Cup 2008. Sepertinya keputusan TPI untuk menayangkan kedua kompetisi itu pun didasari oleh keterlibatan tim nasional sepak bola Indonesia di dalamnya.

c. Sinetron

TPI menamai secara khusus untuk semua programnya yang bergenre sinetron yaitu Sinetron Asyik. Sama halnya dengan kecenderungan dominasi tayangan sinetron di stasiun TV lain, TPI juga memiliki banyak judul sinetron yang ditayangkan. Mulai dari Mantra, Mantu-Mantu Pelit, Sahabat Cilik, Siapa Berani Jadi Janda, Ta’aruf, Cahaya Hati dan Pintu Hidayah. Sebenarnya masih banyak judul lain seperti Gang Dangdut, Calon Pengantin dan Si Mongky, tapi entah kenapa mereka hanya disiarkan sampai beberapa episode saja, mungkin karena ratingnya yang tidak bagus.

d. Sinema

Sama dengan sinetron, sinema di TPI juga bernama Sinema Asyik yang ditayangkan dengan judul yang berbeda-beda di setiap episodenya. Berikut beberapa macam program dalam genre sinema asyik: Cahaya Hati, X-tra Heboh, Layar Asyik, Bollywood, Cerita Sore dan Petualangan Malam.

e. Musik

Tak hanya ada Kontes Dangdut TPI saja tapi TPI juga memiliki program musik lain seperti Musik Asyik, Langsung Beken, Dangdut Mania Dadakan Super 4 dan Takur Jadi 2. Namun ada kejanggalan yang ditemukan oleh penulis untuk genre musik ini, yaitu juga dimasukkannya program Mendadak Insyaf dan Curhat On Air yang isi acaranya sebenarnya lebih kepada acara “tobat-tobatan” bagi para pesertanya dimana mereka yang merasa memiliki aib dalam kehidupannya diberikan kesempatan untuk berinsyaf dan kemudian disuruh memberikan kesan-kesannya (curhat) setelah bertobat.

f. Kartun

TPI juga tak memiliki banyak program kartun yang ditujukan bagi anak-anak. Penulis hanya menemukan 3 acara yang benar-benar kartun, yaitu Tom and Jerry, Kartun Sore dan Bola Kampung yang merupakan kartun berbahasa Melayu karena memang kartun ini sebenarnya berasal dari Malaysia. Dahulu ketika bulan Ramadhan TPI juga kerap memutar kartun Malaysia berjudul Upin dan Ipin yang di Malaysianya sendiri memang terkenal di kalangan anak-anak.

Di website resmi TPI acara API atau Audisi Pelawak Indonesia dan Ketoprak Humor juga dimasukkan dalam kategori kartun. Entah alasan apa yang mendasari kedua acara yang sarat akan humor ini dikategorikan sebagai kartun, yang berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti film yang menciptakan khalayak gerak sebagai hasil pemotretan gambar yang melukiskan perubahan posisi; gambar dengan penulisan yang lucu, berkaitan dengan keadaan yang sedang berlaku.

g. Infotainment

Berbeda dengan stasiun TV lain yang memiliki banyak program gosip atau terkenal dengan istilah infotainment, TPI hanya memiliki 3 program saja, yaitu Kasus Selebriti atau Kassel, Plus Minus dan Go Show.

h. Light Entertainment

Hanya ada 1 program dalam kategori ini yaitu Asyiknya Dewa Dewi yang isi acaranya cenderung bersifat hiburan. Jadwal penayangannya tergolong larut malam yaitu pukul 23.00.

i. Reality Show

TPI pun tak mau ketinggalan tren untuk jenis program TV yang satu ini. Ada 2 acara bersifat reality show yang ditayangkan oleh TPI yaitu Jujur Apa Nggak dan X-Treme Idola.

j. Variety Show

Sebagai kategori terakhir yang dimiliki oleh TPI, variety show yang dimiliki oleh TPI hanyalah 1, yang juga merangkap sebagai program TV bergenre musik, yaitu Dangdut Mania Dadakan 4 Super (DMD 4 Super).

Jika memperhatikan lebih jauh untuk jadwal acara TPI sebenarnya TPI juga menayangkan beberapa acara berbau religi seperti Majelis Az-Zikra, Mushola Pak Lukman, Bimbingan Rohani dan Siraman Qalbu yang kebanyakan tayang di pagi hari. Namun entah kenapa acara-acara ini tidak dikategorikan lebih khusus lagi oleh TPI.

C. Program-Program di TPI dan Problematikanya

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa penulis akan mencoba menjelaskan lebih jauh perihal tidak terepresentasikannya visi, misi serta slogan TPI dalam program-program yang ditayangkannya selama kurang lebih 23 jam sehari tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa sejatinya sebagai sebuah organisasi, tak hanya organisasi media saja tentunya, harus terus berusaha mewujudkan visi dan misinya. Selain itu pemilihan slogan sebagai sepotong kalimat yang dijadikan sebagai “merk” organisasi tersebut juga seharusnya benar-benar direalisasikan, mengingat slogan merupakan kalimat yang paling diingat oleh masyarakat sebagai identitas keberadaan sebuah organisasi, sekaligus sebagai “merk” dari organisasi tersebut.

Pertama-tama akan dibahas tentang visi dari TPI yaitu “paling Indonesia pilihan pemirsa”, apakah memang sudah-sudah benar terealisasi pada program-program pilihannya? Jika melihat secara keseluruhan acara yang ditayangkan oleh TPI memang didominasi oleh acara buatan anak negeri, terutama dilihat pada program Sinema Asyik dan Sinetron Asyik-nya. Sejalan dengan riset yang dilakukan oleh AGB Nielsen untuk tahun 2007 lalu TPI memang menyajikan program berseri dan film berbau lokal lebih banyak dibandingkan genre program lainnya. Ditemukan bahwa ada 1.880 tayangan berseri lokal dan 1.446 film lokal yang diputar TPI. Bahkan perbandingan antara program lokal dan non lokal untuk di tahun 2007 kemarin mencapai angka 86:14 dan sebelumnya di tahun 2006 berada di angka 90:10. Namun sayangnya program TPI disini tetap saja seperti program TV swasta umumnya yaitu adanya kecenderungan Jakarta centered dimana budaya, kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa, cara berpakaian, sangatlah Jakarta sekali. Padahal seharusnya jika TPI memang memutuskan visinya sebagai stasiun TV yang paling Indonesia mereka bisa menggambarkan Indonesia dari Sabang hingga Merauke dalam program-program acaranya.

Namun ternyata di balik kenyataan akan “ketidakmerataan Indonesia” dalam program TPI tersebut mereka cukup berhasil menjadi stasiun TV dengan program-programnya yang memang paling dipilih para pemirsa. Berdasarkan riset AGB Nielsen tahun 2007 yang dilakukan di 10 kota besar di Indonesia, di tahun 2005 TPI mampu mencapai angka 13,6% untuk audience share¬-nya dan di tahun 2006-2007 TPI mendapatkan angka yang sama yaitu 11,2%.

TPI juga berhasil mendapatkan hati anak-anak berumur 5-9 tahun di tahun 2007 lalu. Ada sekitar 93.000 anak di 10 kota besar di Indonesia yang memilih tayangan di TPI sebagai tontonannya sehari-hari. Meski anehnya dari keseluruhan program tayangan anak-anak TPI di tahun 2007 secara total merupakan tayangan non lokal. Disebutkan oleh AGB Nielsen ada sekitar 713 jam acara anak-anak non lokal yang diputar dari keseluruhan jam tayang TPI selama setahun.

Berangkat dari data yang ditemukan oleh AGB Nielsen, di tahun 2007 TPI mampu mengisi 3 posisi pada Top Programs TV Indonesia, yaitu Asal Mula Banyuwangi, Anak Kembar dan Kisah Manusia Bertelinga Kerbau yang ketiganya mampu menembus angka 8 untuk TVR-nya. TPI memang terbukti berhasil menarik hati banyak pemirsa TV di Indonesia, tapi tetap saja ada hal yang perlu dikritisi dari kenyataan tersebut.

Selama ini industri TV dianggap sebagai sebuah lingkaran setan antara 3 aspek, yaitu rating, pemodal iklan dan produser program. Ketika sebuah acara diproduksi sebisa mungkin ia disiapkan untuk mendapatkan rating yang tinggi, agar para pemodal iklan akan banyak yang memasang iklan saat acara tersebut ditayangkan. Hal ini tentu saja akan membawa banyak keuntungan bagi si produser. Perilaku seperti itu akan terus terjadi di dalam lingkaran setan tadi. Karena nafsu produser akan keuntungan yang besar tersebutlah mereka akan berlomba-lomba menciptakan acara yang bisa meraih rating tinggi sehingga kualitas acaralah yang pada akhirnya dikorbankan. Mereka lebih semangat menciptakan acara yang bisa memperbesar pundi uangnya daripada menciptakan acara yang bermanfaat untuk masyarakat. Berikut ilustrasi dari lingkaran setan industri TV tersebut.

Lingkaran setan ini merupakan perwujudan dari sistem penyiaran komersial yang tertarik pada segmen pemirsa tertentu ketimbang keseluruhan pemirsa secara nasional, memasang acara-acaranya untuk memikat dan merangkul pemirsa sasarannya (Labib, 2002:32). Sejalan dengan yang diutarakan oleh Kitley (2000:81 dalam Labib, 2002:32), “Tujuan penyelenggaraan siaran adalah mengantarkan pemirsa (yang tersegmentasi secara demografis dan psikografis) yang bisa diprediksi untuk pengiklan, sumber utama pendanaan bagi penyiaran komersial. Penyelenggara sistem komersial membangun pemirsa sebagai pasar dan penonton. Mengingat tujuan utama penyelenggara siaran komersial adalah mengantarkan penonton kepada para pengiklan agar mereka bsa memikat perhatian pemirsa serta memuaskan tujuan ekonomis mereka.”

Jadi sebenarnya dibalik ketertarikan pemirsa akan acara-acara di TPI, mereka sedang dimanfaatkan oleh para pemilik modal di industri TV. Mungkin sebaiknya industri TV di Indonesia mulai menuruti apa yang dikatakan oleh McQuail dalam Teori Media Massa Demokratik Partisipan di bukunya Mass Communication Theory (1987) bahwa eksistensi media seharusnya diutamakan untuk kepentingan khalayaknya, bukan untuk kepentingan pihak organisasi media, kalangan profesional atau pihak klien media.

Berlanjut ke usaha TPI di dalam mewujudkan misinya yang ingin menyajikan tayangan bercitarasa Indonesia yang inspiratif untuk memajukan masyarakat. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa sesuatu yang bersifat ataupun bercitarasa Indonesia seharusnya memang benar-benar bisa membawa Indonesia ke dalam layar kaca untuk kemudian disaksikan oleh masyarakat Indonesia. Namun sekali lagi, hampir secara keseluruhan acara di TPI masih cenderung Jakarta centered. Mungkin hanya acara Lintas Jatim dan Jendela saja yang menyentuh daerah lain di Indonesia selain Jakarta.

Kemudian apakah acara di TPI memang sudah mampu menginspirasi pemirsanya dan memajukan masyarakat? Melihat dari jadwal acara kesehariannya, rata-rata TPI hanya berkisar pada acara berita dan sinetron asyik atau sinema asyiknya itu. Apalagi jika memperhatikan judul-judul sinetron atau sinema yang mereka katakan asyik itu sebenarnya sama sekali tidak bisa dikatakan inspiratif dan memajukan masyarakat. Sebut saja seperti sinema asyik berjudul Wajah Jenazah Berubah Seperti Kera, sinema pilihan Leher Digerogoti Belatung, atau mungkin sinetron asyiknya yang berjudul Mantu-Mantu Pelit dan Siapa Takut Jadi Janda. Tampaknya TPI perlu meredefinisi arti dari inspiratif dan memajukan masyarakat. Karena jika hal seperti itu dikatakan dapat menginspirasi dan memajukan masyarakat maka justru akan menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan dan membahayakan, mengingat bunyi premis pertama dari interaksionalisme simbolis (Blumer dalam Poloma, 1987:261) adalah manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. Sehingga jika masyarakat dengan mentah-mentah menelan makna yang disampaikan oleh acara-acara seperti di atas begitu saja, tak pelak kehidupan sosial masyarakat akan semakin kacau.

Sepertinya TPI memang ingin sekali menjadi stasiun TV yang paling Indonesia. Tak hanya terlihat dari visi dan misinya saja tapi juga pada slogannya, “Makin Indonesia Makin Asyik Aja”. Sebenarnya di luar masalah Jakarta centered, ada hal lain yang perlu dicermati ulang menyangkut slogan ini. Sudah dituliskan bahwa TPI hanya menyediakan 713 jam untuk tayangan anak-anak dari total 8353 jam tayang sepanjang tahun 2007. Seharusnya sebagai stasiun TV yang mengklaim dirinya sebagai TV pendidikan di Indonesia, mereka juga menyajikan tayangan-tayangan yang mendidik bagi anak-anak Indonesia. Namun yang mereka lakukan adalah menjejali pikiran anak-anak dengan acara berbudaya non Indonesia seperti kartun Malaysia Upin dan Ipin serta Bola Kampung yang tak mustahil dapat menggerus rasa cinta budaya Indonesia pada diri anak-anak tersebut. Belum lagi kartun Tom and Jerry yang sarat dengan kekerasan tersebut. TPI juga dikenal sebagai salah satu stasiun TV yang masih suka menayangkan sinema Bollywood dari India. Jika sudah begini, manakah yang dikatakan oleh mereka “Makin Indonesia” itu?

Pernyataan dari TPI sendiri sebagai TV Pendidikan Indonesia rasanya masih perlu dipertanyakan. Masyarakat akan dapat belajar lebih banyak tentang segala hal dari berbagai acara yang berformat utama informasi atau berita, tentunya yang berkualitas. Namun untuk kedua genre tersebut di tahun 2007 hanya disediakan sekitar 1807 jam dan untuk tayangan bersifat hiburan seperti sinetron, film dan acara musik mendapatkan jatah selama 4927 jam. Berikut adalah perbandingan tayangan edukatif dan non edukatif yang ditayangkan oleh 9 TV swasta Indonesia.

EDUKATIF HIBURAN

TPI 19% 81%

RCTI 15,6% 84,4%

SCTV 14,28% 85,72%

ANTV 12,24% 87,76%

INDOSIAR 12,24% 87,76%

Trans TV 29,93% 70,07%

Trans 7 21% 79%

Global TV 2,72% 97,28%

Lativi/TV ONE 5,44% 94,56%

Sumber: Masduki & Muzayin Nazaruddin. 2008.

Bahkan kartun utama dari TPI yaitu Tom and Jerry merupakan salah satu tayangan anak-anak yang dianggap berbahaya oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA). Koordinator Pemantauan Langsung KPI Pusat juga menyarankan agar orang tua mendampingi anak-anaknya ketika menyaksikan kartun Tom and Jerry dan sejenisnya karena banyak gambar yang tak layak dikonsumsi oleh anak-anak. Bahkan Si Entong yang pernah menjadi acara seri paling top di Indonesia tahun 2007 yang ditayangkan oleh TPI juga termasuk dalam 15 tayangan berbahaya bagi anak-anak yang dirilis oleh YPMA.

Berbagai unsur tak layak konsumsi bagi masyarakat yang tentu saja tak mendidik juga masih kerap tampak di layar kaca TPI. Misalnya unsur seksualitas dalam tayangan Siapa Takut Jadi Janda atau di acara-acara musik TPI yang kental dengan nuansa musik Dangdutnya itu yang sering menampilkan goyangan tubuh yang tergolong tidak sopan, unsur mistis yang ternyata masih saja digemari oleh masyarakat Indonesia juga ada dalam tayangan seperti Jenazah Berubah Jadi Gedebog Pisang, program infotainment TPI Go Show juga pernah dikritik oleh seorang pemirsa ibu-ibu karena mereka menayangkan adegan yang maksudnya guyon tapi malah kebablasan yaitu adegan menjedot-jedotkan kepala ke dinding agar rasa sakit kepala lekas hilang.

KESIMPULAN DAN SARAN

Setelah membaca seluruh tulisan di atas, mungkin ada benarnya jika TPI dianggap gagal merepresentasikannya visi, misi dan slogannya dalam acara-acara mereka. TPI terlihat tidak konsisten dengan apa yang telah mereka susun sebagai acuan kinerja mereka, yaitu visi dan misi tersebut. Masih kurangnya citarasa Indonesia dalam tayangan-tayangannya, banyaknya hal-hal yang sama sekali tidak mendidik dan inspiratif bagi masyarakat, lebih-lebih membahayakan bagi perkembangan masyarakat ke depannya nanti, bukannya memajukan masyarakat Indonesia.

Banyak saran yang bisa disampaikan bagi masalah pada TPI ini yang juga bisa dimanfaatkan oleh media penyiaran di Indonesia lain, khususnya media TV. Kita tahu bahwa di Indonesia marak dengan sikap monopoli dari pihak-pihak tertentu terhadap banyak organisasi media. Misalnya Jawa Pos dan berbagai Radarnya tersebut, belum lagi tentang munculnya berita bahwa Dahlan Iskan sebagai CEO Jawa Pos berniat membeli 75% saham TPI, menurutnya Jawa Pos sebaiknya sudah mulai memiliki TV di tingkat nasional, tak hanya lokal seperti JTV di Surabaya saja (http://duniatv.blogspot.com, Jawa Pos Incar 75% Saham TPI???, 14 Desember 2008). Sikap memonopoli media seperti ini sudah sebaiknya segera dikurangi. Hal ini juga disinggung dalam sistem pers yang disusun oleh Sasa Djuarsa Sendjaja yang disesuaikan dengan jiwa reformasi. Dalam butir ke-9 dihimbau agar monopoli kepemilikan berbagai media massa perlu dihilangkan. Ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan aspek pluralitas dalam pemberitaan di media massa.

Posisi TPI sendiri sebagai “saudara”-nya RCTI dan Global TV dalam keluarga MNC (Media Nusantara Citra) juga sudah menunjukkan keseragaman acara, terutama antara TPI dan RCTI. Setelah membaca jadwal acara RCTI di website resminya ternyata penulis menemukan dominasi acara yang sama dengan yang terjadi di TPI, yaitu jam mengudara RCTI yang kebanyakan diisi dengan acara berita, infotainment dan sinetron, tak lupa diawali dengan acara rohani di pagi hari.

Keseragaman konten antar media tak hanya terjadi pada mereka yang ber-”saudara” saja tapi secara keseluruhan dapat kita lihat bahwa sebenarnya antar TV swasta Indonesia memang secara sadar saling mengintip dan menguntit program-program siaran rekannya . Fenomena ini begitu mengganggu sebagian masyarakat yang benar-benar menginginkan media berkualitas di Indonesia. Maka sebaiknya SDM di dalam organisasi-organisasi media tersebut segera berbenah diri, meningkatkan kualitas dan produktivitas kerja mereka agar bisa menjadi pekerja media yang lebih kreatif dan inovatif lagi di dalam memproduksi program-program TV yang benar-benar mampu memuaskan keinginan khalayak.

Beranjak dari masalah monopoli kepemilikan organisasi media dan pluralitas konten media Indonesia yang masih minim, unsur Bhinneka Tunggal Ika dalam tayangan-tayangan di TV swasta Indonesia juga sangat perlu untuk ditingkatkan. Lagi-lagi diingatkan mengenai fenomena Jakarta centered yang merupakan akibat dari siaran sinetron-sinetron di seluruh Indonesia yang setting-nya sangat sering memakai daerah di Jakarta dan sekitarnya. Dengan demikian proses homogenisasi budaya di Indonesia sesungguhnya sedang terus menerpa masyarakatnya dan belum tahu pasti kapan bisa dihentikan. Mungkin masyarakat Indonesia di luar kota Jakarta yang sudah menjadi ke-Jakarta-Jakarta-an perlu meniru sikap warga Lombok yang tidak menyukai tayangan TV berbahasa lo gue. Mereka merasa tidak nyaman dengan tayangan seperti itu yang tidak mempunyai unsur lokal. Mereka berharap tayangan berbahasa lo gue tidak terlalu banyak mendominasi. Mereka juga meminta KPID NTB untuk mengawal perwujudan siaran TV yang banyak mempunyai unsur lokal.

Semakin maraknya pemilihan TV berbayar di rumah tangga menimbulkan beberapa pertanyaan baru, mengapa saat ini TV berbayar semakin mendominasi tontonan masyarakat? Apa alasan masyarakat memilih TV berbayar padahal mereka bisa menikmati acara di TV swasta Indonesia tanpa harus membayar? Mungkin konten acara TV Indonesia yang sudah semakin tidak jelas lagi-lagi menjadi kambing hitamnya. Sebagian masyarakat bertanya-tanya, bagaimana bisa sinetron yang menjual khayalan, dengan segala macam naga-nagaan dan adegan terbangnya itu bisa menjadi juara di dunia TV Indonesia? Pernyataan mengagetkan dari Local Acqusition Manager SCTV (2001), Buyung Mawardie (yang dimuat Buletin Sinetron, 89-II/18-24 Januari 2001 dalam Labib, 2002:46) mungkin bisa sedikit menjawab pertanyaan tersebut:

“PH yang menawarkan produksinya, biasanya membawa demo tayangannya dan mengajukan naskah cerita. Nah, naskah tersebut kami pelajari bersama-sama dengan teman-teman di bagian penjualan maupun produksi. Bahkan untuk sinetron-sinetron tertentu, sesekali saya harus meminta pembantu rumah tangga atau satpam di sini menyaksikan tayangan itu. Masukan mereka juga perlu.”

Maka mungkin kita yang suka terganggu dengan tayangan berselera “rendah” akan menjadi sedikit maklum setelah membaca pernyataan tersebut, karena memang ada kenyataan di dunia TV Indonesia bahwa penyeleksian sebuah tayangan sebelum dipublikasikan secara nasional bisa saja telah diseleksi terlebih dulu oleh seorang pembantu rumah tangga atau satpam. Keberhasilan tayangan berselera “rendah” begitu juga tentunya tak lepas dari perihal rating.

Hal ini jugalah yang sepatutnya dapat menuntut para pekerja media Indonesia untuk memproduksi tayangan TV yang budayanya tidak nanggung, low culture tidak tapi high culture pun tidak. Akan jauh lebih baik jika mereka memproduksi semua tayangan TV dengan standar high culture, yaitu produk tontonan yang menyajikan nilai-nilai dan norma-norma bernilai tinggi, memberikan wawasan, dan mendidik .

Pada akhirnya, harapan dari penulis adalah agar tulisan ini bisa merangsang yang membacanya agar menjadi lebih kritis lagi terhadap dunia penyiaran Indonesia khususnya dunia pertelevisian. Tak hanya kritis berbicara tapi juga bertindak dan merubahnya, bisa diawali dengan melaporkan hal-hal yang dirasa tidak pantas disiarkan secara luas ke Komisi Penyiaran Indonesia setempat dan sebagainya. Ingatlah bahwa masih ada 1 pilihan terakhir ketika merasa bingung harus menonton siaran TV yang mana karena semuanya tidak ada yang menarik, yaitu mematikan TV!

5 Responses to “TPI: Televisi “Paling Indonesia””

  1. tolong dong tayangan kartun Malaysia dihentikan ..!!!
    ga pantes banget itu kartun ditayangkan sementara mereka banyak nyuri budaya Indonesia …
    ini tidak sejalan dengan slogan TPI yang makin indonesia …

  2. wah bilangnya ke TPI langsung mas, hehehe
    tapi skrg aja isunya TPI pailit to? 😐

  3. TPI yg pasti dah bukan kependekan televisi pendidikan indonesia lagi. sehingga tpi skrg cuma nama tapi ga ada kepanjangan ama sekali. ini dijelasin sama pihak tpi-nya sendiri

  4. krishandi Says:

    oh ya? tx buat infonya 🙂 sayangnya TPI sama sekali tidak memberi kabar atau sesuatu apapun mengenai “TPI hanya sekedar nama” itu. bukankah seharusnya merk itu memiliki filofosi? masa iya hanya asal nemu dan tempel saja?

Leave a comment